Cinta. Bagaimanakah ia? Kata orang, cinta itu
buta. Tak memandang siapa yang ia cintai. Jika cinta itu telah datang, siapapun
ia, segalanya akan menjadi indah. Kata orang, cinta itu bisa membuat manusia
menjadi gila. Tergila-gila pada sosok yang membuatnya jatuh cinta. Mau makan
ingat dia, mau tidur ingat dia, mau segalanya ingat dia. Tak bertemu sehari
bagaikan setahun. Tak mendengarkan suaranya sebentar saja bisa membuat rindu
menggunung. Benarkah?
Lima tahun telah berlalu sejak awal kali kita bertemu. Daerah asal berbeda, SMA pun tak sama. Fakultas Kedokteran Unhas mempertemukan kita dalam sebuah almamater, dengan angkatan bernama Epigl07tica. Dulu kita tak saling mengenal satu sama lain. Hanya sekedar tahu nama dan beberapa item perkenalan klasik lainnya, karena kita belajar di kelas yang sama. Awal mula merintis perjuangan meraih gelar seorang dokter- citaku, citamu, cita kita.
Kulirik arloji hitam yang melingkar di pergelangan tangan kiri. Waktu menunjukkan pukul 3 lewat 5 menit. Segera kuajak seorang teman keluar dari poliklinik yang panas akibat efek rumah kaca karena akumulasi karbondioksida dalam ruangan yang disesaki petugas dan pasien, menuju masjid rumah sakit. Momen shalat menjadi momen yang ditunggu demi menghirup udara segar sejenak sambil mengistirahatkan jiwa, sebagaimana Rasulullah menjadikan shalat sebagai momen untuk beristirahat dari dunia.
Mentari bersinar terik di tengah hari yang panas. Lalu lintas padat
kendaraan seperti biasanya, tetapi tidak sampai macet. Motorku melaju dengan
kecepatan standar. Hipoglikemia menyebabkan otak kurang berkonsentrasi disertai
sengatan matahari yang menembus pakaian berlapis. Tangan kanan tetap menarik
gas, berharap segera tiba di tujuan. Tiba-tiba sebuah truk yang berada agak
jauh di depan berhenti. Tampaknya baru saja mengerem mendadak. Aku dan temanku
tersentak. Adrenalin terpacu demi membayangkan motor akan menghantam truk itu.
Aku dan temanku memiliki pikiran yang sama: pasti akan menabrak.
Aku sudah lupa kapan tepatnya ia pergi. Ah, bahkan
mengingatnya saja amat sangat jarang. Mungkin karena saat ia pergi, usiaku
masih terlalu kecil untuk merasa kehilangan. Mungkin juga karena saat-saat yang
sering kulalui bersamanya adalah fase di mana memoriku belum bisa menyimpan
kenangan seutuhnya. Tapi hari ini, ia berhasil membuatku menangis. Tiba-tiba
teringat padanya. Dan rasa bersalah itu perlahan mulai menyesakkan dada. Mengapa
diri ini jarang mengingatnya. Padahal ia adalah salah satu orang tua yang
sangat menyayangiku, menghabiskan banyak waktunya denganku dibanding cucunya
yang lain. Nenek. Hari ini aku sungguh merindukanmu.