Aku sudah lupa kapan tepatnya ia pergi. Ah, bahkan
mengingatnya saja amat sangat jarang. Mungkin karena saat ia pergi, usiaku
masih terlalu kecil untuk merasa kehilangan. Mungkin juga karena saat-saat yang
sering kulalui bersamanya adalah fase di mana memoriku belum bisa menyimpan
kenangan seutuhnya. Tapi hari ini, ia berhasil membuatku menangis. Tiba-tiba
teringat padanya. Dan rasa bersalah itu perlahan mulai menyesakkan dada. Mengapa
diri ini jarang mengingatnya. Padahal ia adalah salah satu orang tua yang
sangat menyayangiku, menghabiskan banyak waktunya denganku dibanding cucunya
yang lain. Nenek. Hari ini aku sungguh merindukanmu.
Ibuku adalah anak sulungnya, dan baru dari ibuku saja beliau
memiliki cucu. Memori yang berhasil kubuka kembali dari folder otakku, saat
ibuku telah memiliki empat anak yang semua perempuan. Aku tak pernah mengenal
suaminya—kakekku—karena ia lebih dahulu pergi sebelum ibuku menikah. Entah sejak
usia berapa aku sering dibawa olehnya, tapi lagi-lagi yang bisa kuingat adalah
sebelum aku duduk di taman kanak-kanak.
Darinya aku belajar mandiri. Yah, takaran mandiri untuk anak
seusiaku. Aku tak tahu apa sebabnya, tapi di antara empat orang anak ibuku aku
yang paling sering dibawa ke rumahnya. Di salah satu dusun kecil tempat
kelahiran ibuku. Mungkin karena jarakku dan adikku yang hanya setahun,
tidak seperti aku dan kakakku, juga anak ketiga dan keempat yang jaraknya sekitar
dua tahun. Mungkin. Aku tak pernah menanyakan alasannya.
Seingatku, hampir sebagian besar masa kecilku (hingga taman
kanak-kanak) kuhabiskan bersamanya. Waktu itu ia tinggal sendiri di rumah
kecilnya, karena keempat anaknya semua telah bekerja. Tiga adik ibuku yang
semua perempuan pergi merantau. Hanya ibuku yang masih tinggal sekabupaten
dengannya. Sebenarnya ia tidak tinggal sendiri secara mutlak, karena beberapa
tetangga yang rumahnya berdekatan adalah saudara-saudara kandungnya.
Masih segar dalam ingatanku, ia sering membawaku ke sawah
tempat ia mencari nafkah. Bermain berkejaran bersama anak-anak lain di tengah
sawah. Aku kagum padanya. Ia tegar, pekerja keras, dan penyabar. Sangat jarang
bahkan tak pernah kudengar keluhan keluar dari bibirnya. Dan satu lagi. Ia sangat
menyayangiku. Aku merasakannya, walaupun saat bersamanya aku masih sangat
kecil. Ia yang mengajariku mencuci piring, mengepel lantai, memasak nasi, dan
masih banyak lagi. Ia tak pernah meninggalkan shalat. Jika sempat, ia
menunaikan shalat maghrib dan isya di masjid yang tidak begitu jauh dari
rumahnya. Hingga SD pun, jika ada kesempatan, ia masih sering membawaku ke
rumahnya. Ketika ia datang ke rumahku, aku selalu tidur dengannya. Ibu dan tante-tanteku
mengatakan, aku mewarisi ketekunan beliau karena dulu selalu bersamanya.
Masa makin menua. Dirikupun beranjak besar. Suatu hari, ia
pernah mengatakan sesuatu padaku yang pada saat itu aku belum begitu sanggup
meresapi maknanya. Kalau tidak salah, usiaku baru tujuh atau delapan tahun. Namun
otakku masih mengingat kata-kata itu dan baru sekarang aku merasa sangat
bersalah padanya.
Suatu senja di rumahku. Suara sekumpulan kelelawar yang
bangun dari tidurnya melengking bersahutan menuju tempatnya mencari makan. Di
sebuah kamar yang sering ia tempati ketika datang ke rumah, hingga kamar itu
kami sandangkan sebagai kamarnya. Kamar yang juga menjadi tempatku tidur jika
ia datang menginap. Dengan tatapan sayunya ia memandangku. Dalam bahasa bugis
ia berkata, yang artinya: “Mungkin kamu sudah melupakanku, Nak. Karena kamu
sudah besar sekarang.” Waktu itu afekku datar. Namun sekarang, ketika kata-kata
itu terngiang, kelenjar air mataku selalu berhasil mengalirkan air mata. Maafkan
aku, Nenek….. Aku takkan melupakanmu….
Hingga suatu hari, ia jatuh sakit. Salah satu anaknya yang
paling jauh merantau kembali untuk merawatnya. Sayangnya, karena tumbuh dengan
kentalnya adat, mereka lebih percaya bahwa penyakit itu bukan penyakit medis. Allahu
a’lam. Lagi-lagi aku masih terlalu muda untuk memahaminya. Segala macam
pengobatan ia tempuh, mulai dari yang paling tradisional, hingga berakhir di
pengobatan medis. Berbagai pengobatan non medis tak mampu menyembuhkannya
hingga beliau akhirnya dirawat di rumah sakit di Makassar. Yang kudengar saat
itu, beliau didiagnosis menderita leukemia yang lebih familiar di telinga orang
awwam dengan sebutan kanker darah. Sejak ia masuk rumah sakit, aku tak pernah
menjenguknya. Kondisi tak memungkinkan bagiku untuk menjenguknya di Makassar.
Di suatu siang yang terik, ketika ayahku menjemputku
sepulang dari sekolah. Ia mengatakan bahwa kami akan ke rumah nenek. Aku kegirangan
dan berseru dengan mata berbinar,
“Nenek sudah keluar dari rumah sakit?”
Tidak bisa kupungkiri, aku masih merasa cucu yang paling
dekat dengannya dan aku gembira jika ia sembuh. Karena beberapa kali aku
memimpikan ia pergi. Mimpi yang membuatku bersyukur setiap kali bangun tidur
dan menyadari bahwa aku hanya bermimpi.
Ayahku menjawab’
“Nenekmu meninggal….”
Wajahku yang tadi kegirangan tiba-tiba tertutup awan kelabu.
Ia sudah tiada. Nenekku sudah pergi dan tak akan pernah kembali lagi. Aku lupa
kapan terakhir kali bertemu dengannya saat ruh masih bersemayam dalam jasad
tegar itu. Ia pergi meninggalkanku. Meninggalkan kami semua.
Kami berangkat ke rumahnya. Menunggu kedatangannya kembali
dari Makassar. Tapi kali ini hanya jasadnya yang kembali. Ruhnya tidak lagi. Allah
sudah mengambilnya kembali. Matahari senja itu menjadi saksi terakhir kalinya
aku berjumpa dengannya. Namun pertemuan kali ini hanya aku yang merasakan. Suara
ambulans bergaung memasuki lorong menuju rumahnya di sudut. Tangisan mulai
membahana. Kupandangi ibuku yang sedang mengandung anak kelima, tak mampu
membendung air mata yang menganak sungai di kedua kelopak matanya. Aku pun
hanya bisa menangis. Ia takkan lagi ada bersamaku.
Tiga belas tahun lebih ia meninggalkanku, meninggalkan kami
semua. Semoga amal ibadahnya diterima dan kami dipertemukan di jannah-Nya.
Makassar, 19 Jumada Tsaniyah 1433H/10 Mei 2012 M
Teruntuk nenekku tercinta. Aku takkan melupakanmu.
Allahummaghfirlahaa…..
No comments:
Post a Comment