Thursday, May 10, 2012

Aku Takkan Melupakanmu


Aku sudah lupa kapan tepatnya ia pergi. Ah, bahkan mengingatnya saja amat sangat jarang. Mungkin karena saat ia pergi, usiaku masih terlalu kecil untuk merasa kehilangan. Mungkin juga karena saat-saat yang sering kulalui bersamanya adalah fase di mana memoriku belum bisa menyimpan kenangan seutuhnya. Tapi hari ini, ia berhasil membuatku menangis. Tiba-tiba teringat padanya. Dan rasa bersalah itu perlahan mulai menyesakkan dada. Mengapa diri ini jarang mengingatnya. Padahal ia adalah salah satu orang tua yang sangat menyayangiku, menghabiskan banyak waktunya denganku dibanding cucunya yang lain. Nenek. Hari ini aku sungguh merindukanmu.


Ibuku adalah anak sulungnya, dan baru dari ibuku saja beliau memiliki cucu. Memori yang berhasil kubuka kembali dari folder otakku, saat ibuku telah memiliki empat anak yang semua perempuan. Aku tak pernah mengenal suaminya—kakekku—karena ia lebih dahulu pergi sebelum ibuku menikah. Entah sejak usia berapa aku sering dibawa olehnya, tapi lagi-lagi yang bisa kuingat adalah sebelum aku duduk di taman kanak-kanak.

Darinya aku belajar mandiri. Yah, takaran mandiri untuk anak seusiaku. Aku tak tahu apa sebabnya, tapi di antara empat orang anak ibuku aku yang paling sering dibawa ke rumahnya. Di salah satu dusun kecil tempat kelahiran ibuku. Mungkin karena jarakku dan adikku yang hanya setahun, tidak seperti aku dan kakakku, juga anak ketiga dan keempat yang jaraknya sekitar dua tahun. Mungkin. Aku tak pernah menanyakan alasannya.

Seingatku, hampir sebagian besar masa kecilku (hingga taman kanak-kanak) kuhabiskan bersamanya. Waktu itu ia tinggal sendiri di rumah kecilnya, karena keempat anaknya semua telah bekerja. Tiga adik ibuku yang semua perempuan pergi merantau. Hanya ibuku yang masih tinggal sekabupaten dengannya. Sebenarnya ia tidak tinggal sendiri secara mutlak, karena beberapa tetangga yang rumahnya berdekatan adalah saudara-saudara kandungnya.

Masih segar dalam ingatanku, ia sering membawaku ke sawah tempat ia mencari nafkah. Bermain berkejaran bersama anak-anak lain di tengah sawah. Aku kagum padanya. Ia tegar, pekerja keras, dan penyabar. Sangat jarang bahkan tak pernah kudengar keluhan keluar dari bibirnya. Dan satu lagi. Ia sangat menyayangiku. Aku merasakannya, walaupun saat bersamanya aku masih sangat kecil. Ia yang mengajariku mencuci piring, mengepel lantai, memasak nasi, dan masih banyak lagi. Ia tak pernah meninggalkan shalat. Jika sempat, ia menunaikan shalat maghrib dan isya di masjid yang tidak begitu jauh dari rumahnya. Hingga SD pun, jika ada kesempatan, ia masih sering membawaku ke rumahnya. Ketika ia datang ke rumahku, aku selalu tidur dengannya. Ibu dan tante-tanteku mengatakan, aku mewarisi ketekunan beliau karena dulu selalu bersamanya.

Masa makin menua. Dirikupun beranjak besar. Suatu hari, ia pernah mengatakan sesuatu padaku yang pada saat itu aku belum begitu sanggup meresapi maknanya. Kalau tidak salah, usiaku baru tujuh atau delapan tahun. Namun otakku masih mengingat kata-kata itu dan baru sekarang aku merasa sangat bersalah padanya.

Suatu senja di rumahku. Suara sekumpulan kelelawar yang bangun dari tidurnya melengking bersahutan menuju tempatnya mencari makan. Di sebuah kamar yang sering ia tempati ketika datang ke rumah, hingga kamar itu kami sandangkan sebagai kamarnya. Kamar yang juga menjadi tempatku tidur jika ia datang menginap. Dengan tatapan sayunya ia memandangku. Dalam bahasa bugis ia berkata, yang artinya: “Mungkin kamu sudah melupakanku, Nak. Karena kamu sudah besar sekarang.” Waktu itu afekku datar. Namun sekarang, ketika kata-kata itu terngiang, kelenjar air mataku selalu berhasil mengalirkan air mata. Maafkan aku, Nenek….. Aku takkan melupakanmu….

Hingga suatu hari, ia jatuh sakit. Salah satu anaknya yang paling jauh merantau kembali untuk merawatnya. Sayangnya, karena tumbuh dengan kentalnya adat, mereka lebih percaya bahwa penyakit itu bukan penyakit medis. Allahu a’lam. Lagi-lagi aku masih terlalu muda untuk memahaminya. Segala macam pengobatan ia tempuh, mulai dari yang paling tradisional, hingga berakhir di pengobatan medis. Berbagai pengobatan non medis tak mampu menyembuhkannya hingga beliau akhirnya dirawat di rumah sakit di Makassar. Yang kudengar saat itu, beliau didiagnosis menderita leukemia yang lebih familiar di telinga orang awwam dengan sebutan kanker darah. Sejak ia masuk rumah sakit, aku tak pernah menjenguknya. Kondisi tak memungkinkan bagiku untuk menjenguknya di Makassar.

Di suatu siang yang terik, ketika ayahku menjemputku sepulang dari sekolah. Ia mengatakan bahwa kami akan ke rumah nenek. Aku kegirangan dan berseru dengan mata berbinar,
“Nenek sudah keluar dari rumah sakit?”

Tidak bisa kupungkiri, aku masih merasa cucu yang paling dekat dengannya dan aku gembira jika ia sembuh. Karena beberapa kali aku memimpikan ia pergi. Mimpi yang membuatku bersyukur setiap kali bangun tidur dan menyadari bahwa aku hanya bermimpi.

Ayahku menjawab’
“Nenekmu meninggal….”

Wajahku yang tadi kegirangan tiba-tiba tertutup awan kelabu. Ia sudah tiada. Nenekku sudah pergi dan tak akan pernah kembali lagi. Aku lupa kapan terakhir kali bertemu dengannya saat ruh masih bersemayam dalam jasad tegar itu. Ia pergi meninggalkanku. Meninggalkan kami semua.

Kami berangkat ke rumahnya. Menunggu kedatangannya kembali dari Makassar. Tapi kali ini hanya jasadnya yang kembali. Ruhnya tidak lagi. Allah sudah mengambilnya kembali. Matahari senja itu menjadi saksi terakhir kalinya aku berjumpa dengannya. Namun pertemuan kali ini hanya aku yang merasakan. Suara ambulans bergaung memasuki lorong menuju rumahnya di sudut. Tangisan mulai membahana. Kupandangi ibuku yang sedang mengandung anak kelima, tak mampu membendung air mata yang menganak sungai di kedua kelopak matanya. Aku pun hanya bisa menangis. Ia takkan lagi ada bersamaku.

Tiga belas tahun lebih ia meninggalkanku, meninggalkan kami semua. Semoga amal ibadahnya diterima dan kami dipertemukan di jannah-Nya.

Makassar, 19 Jumada Tsaniyah 1433H/10 Mei 2012 M
Teruntuk nenekku tercinta. Aku takkan melupakanmu.
Allahummaghfirlahaa…..

No comments:

Post a Comment