Wednesday, October 10, 2012

A Great Mother


Kulirik arloji hitam yang melingkar di pergelangan tangan kiri. Waktu menunjukkan pukul 3 lewat 5 menit. Segera kuajak seorang teman keluar dari poliklinik yang panas akibat efek rumah kaca karena akumulasi karbondioksida dalam ruangan yang disesaki petugas dan pasien, menuju masjid rumah sakit. Momen shalat menjadi momen yang ditunggu demi menghirup udara segar sejenak sambil mengistirahatkan jiwa, sebagaimana Rasulullah menjadikan shalat sebagai momen untuk beristirahat dari dunia.



Tak berapa lama setelah tiba di masjid, adzan ashar berkumandang. Sekilas kulihat seorang wanita dengan jilbab berniqab warna hijau. Aku melihatnya juga saat shalat zhuhur tadi. Siapa wanita itu, aku tak tahu. Saat shalat zhuhur tadi aku tak sempat bertegur sapa dengannya. Setelah mengambil air wudhu, aku memutuskan mengambil shaf di sampingnya. Salah satu alasanku agar lebih mudah merapatkan shaf shalat dengan akhawat yang berilmu. Hehehe…. Soalnya seringkali kaki yang telah kudekatkan pada kaki orang awwam untuk merapatkan shaf justru “ditolak” dan dijauhkan sehingga shaf tidak lagi rapat. Semoga Allah memberi hidayah bagi mereka dan kekuatan bagi kita untuk menyebarkan ilmu pada mereka.

Baru saja kuhempaskan badan ke lantai menunggu iqamat, sebuah sapaan lembut mampir di telingaku.

“Koas ya?”

Kupandangi sumber suara, hanya kedua mata yang kudapat karena niqab itu masih melekat menutupi wajah. Masjid ini memang memiliki hijab tinggi. Tetapi tiupan angin sepoi-sepoi mudah saja menyingkapnya, ditambah lagi tiangnya yang agak jarang dan masih memberi celah untuk dapat terlihat dari tempat jamaah laki-laki. Terlihat dari kedua mata dengan sedikit gurat usia di sekitar kelopaknya, sepertinya wanita ini sedikit lebih tua dari ibuku.

“Iya, ummi….,” jawabku.

“Semester berapa, Nak?” tanyanya lagi.

Pertanyaan mengenai semester tidak lagi dapat kujawab dengan spontan setelah memasuki kepaniteraan klinik, karena di KRS kepaniteraan klinik tertulis di semester 7, dan hingga ketiga kalinya mengurus KRS kepaniteraan klinik masih saja tertulis di semester 7.

“Semester berapa ya ummi…. Koas tingkat akhir…. Insyaa’ Allah sisa dua bulan lagi,” jawabku.

“Ooo…. 2007 ya?”

“Iya, ummi….”

Pembicaraan masih berlanjut. Ibu itu menceritakan tentang anaknya yang juga koas, tapi siklusnya sudah selesai dan sedang menunggu wisuda. Kusebut sebuah nama yang kemudian beliau iyakan.

Aku menanyakan perihal sang ibu datang ke rumah sakit. Beliau mengatakan, sudah lima tahun ini beliau sering ke rumah sakit demi mendampingi suaminya yang menjalani hemodialisis. Namun suaminya meniggal Ramadhan kemarin. Hari jumat ba’da ashar di bulan Ramadhan. Masya’ Allah. Kedua matanya berbinar, perpaduan antara sedih dan gembira ketika menyebutkan waktu yang sarat dengan keutamaan saat wafatnya sang suami. Yang membuatku terkejut dan kagum, beliau masih menyempatkan diri ke rumah sakit untuk mengajari ibu-ibu mengaji. Ibu-ibu yang selama suaminya dihemodialisis beliau ajarkan mengaji, dan saat suaminya meninggal, mereka mengatakan kepada beliau bahwa siapa lagi yang akan mengajari mereka mengaji. Alhasil, sang ibu pun tetap menyempatkan diri untuk datang sekali sepekan ke rumah sakit untuk mengajari mereka mengaji. Barakallahu lahaa….

Iqamat dikumandangkan. Kami berdiri untuk menunaikan shalat ashar. Beliau menarik lenganku untuk merapatkan shaf dengannya. Masyaa’ Allah…. Terbersit harapan, semoga suatu hari ibuku bisa menjadi seperti beliau.

Ba’da dzikir beliau kembali mengajakku mengobrol. Beberapa lama mengobrol sebelum shalat tadi, beliau baru sempat menanyakan namaku kali ini. Mengenai namanya, aku sudah lama mendengarnya. Qadarullah, baru kali ini diberi kesempatan bertemu langsung dengan beliau. Di sela obrolan, ada semburat kesedihan yang kutangkap dari sinar matanya. Bisa kusimpulkan, beliau sedang kesepian. Ketika kutanya hendak ke mana, beliau mengatakan,

“Mau ke BTP, Nak. Ada halaqah tahsin yang mau diisi di sana. Mau pulang ke rumah, nda ada orang juga di rumah.”

Masyaa’ Allah….. Hanya pujian kepada Allah dibarengi rasa takjub kepada beliau yang dapat kuucapkan. Di usianya yang memasuki senja, ia masih istiqamah dengan niqabnya. Dengan semangat da’wahnya mengajarkan Al-Qur’an. Cukuplah sabda Rasulullah: “Khayrukum man ta’allamal Qur’aana wa ‘allamahu… Yang terbaik di antara kalian adalah orang yang mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya…” Berbahagialah anak-anak yang telah dilahirkan dari rahimnya.
Kami pun berpamitan.

“Semoga sukses ya, Nak.”

“Aamiin… Hati-hati di jalan, Ummi….”

Rezqi Hardiyanti bintu Muhammad Taufiq
Makassar, 9 Oktober 2012
Seorang wanita adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya. Bagaimana anaknya kelak tergantung bagaimana ia mendidiknya. Berbekallah wahai Saudariku. Generasi mujahid akan lahir dari rahim para mujahidah, insyaa’ Allah. Semoga semangat beliau dalam berda’wah memberi ibrah pada kita.

No comments:

Post a Comment