Saturday, October 9, 2010

Perang Uhud


Medan Badr telah surut, namun api pembalasan dendam baru disulut. Serangan disiapkan untuk menghadapi kaum muslimin, agar kebencian mereka bisa terobati dan dendam kesumat bisa tersuapi. Lihatlah Saudaraku. Di sana ada Ikrimah bin Abi Jahl, Shafwan bin Umayyah, Abu Sufyan bin Harb, Abdullah bin Abi Rabi’ah. Pemimpin pasukan musyrikin yang memompa semangat kaummnya, meniupkan angin permusuhan demi terangkatnya pedang menebas leher Muhammad dan para pengikutnya. Makkah menggelegak, terbakar kebencian terhadap orang-orang Muslim. Kekalahan musyrikin Quraisy di Perang Badr dan terbunuhnya sekian banyak pemimpin dan bangsawan kala itu menyisakan dendam. Hati membara dibakar keinginan untuk menuntut balas.



“Sesungguhnya orang-orang yang kafir menafkahkan harta mereka untuk menghalangi (orang) dari jalan Allah. mereka akan menafkahkan harta itu, Kemudian menjadi sesalan bagi mereka, dan mereka akan dikalahkan. dan ke dalam Jahannamlah orang-orang yang kafir itu dikumpulkan.” (Q.S.Al-Anfal, 8: 36)

Bayangkan pasukan mereka, Saudaraku.
Tiga ribu onta…
Dua ratus penunggang kuda…
Tujuh ratus orang dengan baju besi…
Lima belas wanita penggugah semangat…

Tengoklah pasukan Rasulullah.
Seribu prajurit berbaju besi…
Lima puluh penunggang kuda…
Hanya itu…
Seribu lima puluh pengikut Rasulullah melawan tiga ribu sembilan ratus musuh Allah. Allahu Akbar!!!

Saudaraku, di sana ada delapan pemuda yang merengek minta ikut ke medan jihad. Keberanian Abdullah bin Umar dan tujuh kawannya tak mampu meluluhkan hati sang qudwah untuk menerjunkan mereka ke kancah perindu syahid. Harapan mereka kandas, hanya karena usia yang masih belia. Bagaimana dengan kita wahai Saudaraku? Masihkah kita merasa belum saatnya mengemban amanah da’wah?

Di tengah pasukan ada Abdullah bin Ubay. Gembong munafiqin yang menyeret langkah dengan hati yang berat. Lisan melafadzkan iman, namun sanubari yang busuk tak sanggup menyembunyikan wujudnya dengan bersilat lidah. Tirai kemunafikan pun disibak. Mu’minin teguh di tempat, sedang ia dan pengikutnya membelot. Lari meninggalkan medan jihad laksana domba yang tak rela dimangsa singa.


“Dan supaya Allah mengetahui siapa orang-orang yang munafik. kepada mereka dikatakan: "Marilah berperang di jalan Allah atau pertahankanlah (dirimu)". mereka berkata: "Sekiranya kami mengetahui akan terjadi peperangan, tentulah kami mengikuti kamu". Mereka pada hari itu lebih dekat kepada kekafiran dari pada keimanan. mereka mengatakan dengan mulutnya apa yang tidak terkandung dalam hatinya. dan Allah lebih mengetahui dalam hatinya. dan Allah lebih mengetahui apa yang mereka sembunyikan.” (Q.S.Ali Imran, 3: 167)

Saudaraku, pasukan orang-orang beriman hanya bersisa tujuh ratus. Sanggupkah menghadapi musuh yang lima kali lipat jumlahnya? Cukuplah Allah sebagai penolong…. Bukan tidak pernah golongan yang sedikit mengalahkan golongan yang banyak….

Di kaki bukit Uhud. Kavaleri perang Rasulullah tertata rapi mengikuti komando sang panglima perang perkasa. Dengan keimanan yang terpatri, berjuang layaknya pejuang sejati. Di garda terdepan ada Abu Bakar, Umar bin Khaththab, Ali bin Abi Thalib, juga sahabat terkemuka lainnya. Datasemen belakang diserahkan pada pasukan pemanah yang dipimpin pemanah ulung, Abdullah bin Jubair.
“Lindungilah kami dengan anak panah, agar musuh tidak menyerang kami dari arah belakang. Tetaplah di tempatmu, entah kita di atas angin ataupun terdesak, agar kita tidak diserang dari arahmu.”

“Lindungilah punggung kami. Jika kalian melihat kami sedang bertempur, maka kalian tak perlu membantu kami. Jika kalian melihat kami telah mengumpulkan harta rampasan, maka janganlah kalian turun bergabung bersama kami.”

Demikianlah seruan kekasih Allah pada pasukan pemanah.

Perang pun pecah…. Para prajurit mengayunkan pedang, melepaskan anak panah, dan melemparkan tombak. Musuh-musuh Allah mengintai leher Rasulullah untuk dipenggal. Akan tetapi Saudaraku, di sana ada para sahabat yang rela lehernya menggantikan leher Rasulullah untuk ditebas. Di sana ada para sahabat yang tak sudi tangan kotor musyrikin menyentuh Rasulullah walau nyawa sebagai tebusannya. Demi tegaknya kalimatullah, demi tegaknya agama Allah di muka bumi ini.

Saudaraku, di tengah-tengah mereka ada singa Allah yang enggan membiarkan kepala musuh luput darinya. Dialah Hamzah bin Abdul Muththalib, paman Rasulullah yang membawa panji Islam dengan tangan kanannya. Tangan itu diputus, ia pun membawanya dengan tangan kiri. Tangan itu diputus lagi, ia membawanya di dada. Hingga akhirnya jatuh tersungkur sebagai syahid.

Di antara mereka ada pula Hanzhalah bin Abu Amir. Tahukah engkau Saudaraku? Ia baru saja melalui malam pertamanya bersama sang istri tercinta. Ketika terdengar seruan jihad, ia rela beranjak dari pelukan sang istri menuju pelukan kancah peperangan. Yang akhirnya memisahkannya dengan sang istri untuk selamanya.

Saudaraku, pasukan Islam yang kecil sebentar lagi akan meraih kemenangan. Harta rampasan sudah di depan mata. Ya…. harta dunia yang lagi-lagi menyilaukan mata sebagian pasukan pemanah yang belum kokoh imannya. Perintah Rasulullah diabaikan demi mengambil perbendaharaan dunia dari rampasan perang. Saudaraku, hanya sepuluh orang yang bertahan di sana. Jumlah yang begitu kecil, untuk menghadang manuver Khalid bin Al-Walid yang mengambil jalan memutar, menyerang dari belakang.

Tak ayal lagi, barisan kaum muslimin pun berantakan. Ketidaktaatan sebagian kecil mereka pada pemimpin menjadi sumber bencana bagi seluruh tubuh pasukan muslimin. Baru sesaat di atas angin, kini terpelanting dan jatuh tertatih. Keimanan semakin diuji. Ada yang lari, ada yang bertahan meski harus mati.

“Muhammad sudah terbunuh….”, seru seorang musyrik. Kegalauan menyelimuti hati muslimin. Semangat juang yang tadinya berkobar surut seiring berhembusnya kabar angin tentang kematian utusan Allah. Keikhlasan kembali diuji. Akankah mereka tetap berjuang walau Rasulullah telah dibunuh, ataukah mereka akan mundur.

Dari sebuah tempat, terdengar teriakan Rasulullah yang menandakan ia masih hidup. Semangat pasukan kembali berkobar, diikuti semangat musyrikin yang semakin geram mengintai Rasulullah. Pipi beliau luka, gigi serinya pecah. Celakalah orang yang mengalirkan darah Nabi Allah.

Saudaraku, tengoklah ke sana. Abu Thalhah, Abu Dujanah, Hathib bin Abu Balta’ah, Sahl bin Hanif, Abdurrahman bin Auf, Malik bin Sinan, Mush’ab bin Umair berhamburan ke arah Rasulullah untuk menjadikan diri sebagai tameng. Di antara mereka ada Ummu Umarah, seorang wanita perkasa yang turut menjadi perisai. Melindungi sang kekasih tercinta, hingga satu per satu dari mereka tumbang menjemput syahid.

Saudaraku, pandangilah sisa-sisa perang itu….

Singa Allah, Hamzah bin Abdul Muththalib. Jasadnya tak lagi bernyawa. Dadanya disobek, jantungnya diambil dan dikunyah. Hidung dan telinganya dijadikan gelang kaki.

Duta pertama Islam, Mush’ab bin Umair. Pemuda perlente yang rela kehilangan kehidupan gemerlapnya demi kemuliaan dalam Islam. Penutup jasadnya hanyalah kain yang jika ditutupkan ke kepalanya kelihatan kakinya, dan jika ditutupkan ke kakinya kelihatan kepalanya.

Hanzhalah bin Abu Amir. Meninggalkan istri tercinta dan menjemput syahid dalam keadaan junub. Hingga jasadnya dimandikan oleh malaikat.

Medan Uhud….
Keikhlasan diuji, dan keberanian dinanti bukti.
Kekalahan yang menyayat, karena pasukan yang tidak taat.

Wahai mujahid dan mujahidah da’wah terpilih…
Cukuplah kisah ini memberimu ibrah tentang pejuang sejati.

Makassar, Juni 2010

No comments:

Post a Comment