Friday, November 19, 2010

Hukum Transplantasi Organ Tubuh Orang Hidup atau yang Sudah Mati

Segala puja dan puji hanya milik Allah. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada penghulu kita Nabi Muhammad Shallallahu ‘alayhi wasallam sebagai penutup para nabi, juga kepada keluarga dan para shahabat beliau.
Amma ba’ad.
Keputusan no (1) d 4/08/88
Bahwa sidang Dewan Fiqih Islam yang diselenggarakan pada sesi muktamarnya ke-4 yang diadakan di kota Jeddah, Kerajaan Arab Saudi yang diselenggarakan pada tanggal 18-23 Jumadats-Tsaniyah, tahun 1408H. Bertepatan dengan tanggal 6-11 Februari, tahun 1988M.

Setelah memperhatikan dengan seksama kajian-kajian fiqih dan medis yang diajukan kepada Dewan mengenai permasalahn ‘hukum menggunakan bagian anggota tubuh orang lain, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal’.

Dengan mengacu pada beragam diskusi yang mengarahkan pandangan bahwa permasalahan ini merupakan hal yang riil terjadi, dan menjadi konsekuensi dari kemajuan pengetahuan dan kedokteran. Berbagai hasil yang positif lagi bermanfaat juga telah tampak, di samping juga tak jarang hasilnya bercampur dengan kegundahan yang mengganggu jiwa dan masyarakat yang muncul akibat praktik yang mengabaikan berbagai norma dan batasan syari’at, yang merupakan piranti untuk menjaga kehormatan manusia. Tentunya dengan mempraktikkan maqashid syari’ah Islam yang menjamin terealisasinya setiap kebaikan dan maslahat yang begitu berharga bagi individu maupun kelompok, yang menyerukan pada nilai saling menolong, menyayangi dan mementingkan kepentingan orang lain (itsar).

Setelah membatasi masalah ini dalam poin-poin yang menjadi objek pengkajian, dan telah dirumuskan rapi klasifikasi, bentuk, dan kondisinya, di mana hukum yang ada akan berbeda-beda sesuai dengan pertimbangan hal-hal di atas.

Dewan Memutuskan Hal Berikut ini:
Ditinjau dari sisi definisi dan pembagiannya:

Pertama, yang dimaksud dengan anggota tubuh adalah bagian anggota tubuh manusia manapaun, baik berupa jaringan otot, sel, darah, dan yang lainnya, seperti kornea mata. Baik anggota tubuh yang menempel maupun yang terpisah.

Kedua, upaya pemanfaatan yang menjadi materi pembahasan di sini adalah pengambilan manfaat yang memang sangat dibutuhkan seseorang untuk menyambung kehidupannya atau untuk menjaga fungsi vital dari salah satu anggota tubuhnya seperti penglihatan dan semisalnya. Ini dengan catatan bahwa orang yang akan mengambil manfaat tersebut berpola hidup mulia secara syar’i.
Ketiga, ada beberapa macam bentuk pengambilan manfaat anggota tubuh:
1.    Pemindahan anggota tubuh (transplantasi) dari orang yang masih hidup.
2.    Pemindahan anggota tubuh dari orang yang sudah mati.
3.    Pemindahan dari janin.

Bentuk pertama: Yaitu pemindahan anggota tubuh dari orang yang masih hidup.
Hal itu mencakup kondisi berikut:
a.    Pemindahan anggota tubuh dari satu tempat ke tempat yang lain pada satu tubuh. Misalnya pemindahan kulit, tulang rawan, tulang, pembuluh darah, dan yang lainnya.
b.    Pemindahan bagian anggota tubuh orang yang masih hidup kepada orang lain. Bagian tersebut ada hal yang apabila dipindahkan akan menyebabkan kematian dan ada yang tidak menyebabkan kematian.

Adapun yang menyebabkan kematian, ada yang berjumlah tunggal, dan ada yang berjumlah tidak tunggal. Yang pertama, seperti jantung dan hati. Yang kedua, seperti ginjal dan paru-paru.
Adapun yang tidak menyebabkan kematian, di antaranya ada anggota tubuh yang memainkan peran yang sangat vital dalam tubuh, ada lagi yang tidak. Di antaranya ada yang secara otomatis terus melakukan regenerasi seperti halnya, darah, ada lagi yang tidak bisa. Di antaranya ada yang memiliki efek pada keturunan, genetika, dan kepribadian secara umum, seperti buah pelir, indung telur, dan sel-sel jaringan saraf. Dan di antaranya ada yang tidak memberikan dampak apa-apa.

Bentuk kedua: Pemindahan anggota tubuh dari orang yang sudah mati.
Perlu diketahui bahwa kematian itu mencakup dua keadaan:

Pertama, matinya jaringan otak, dengan terhentinya semua fungsinya secara total, tak dapat lagi untuk bisa bekerja kembali secara medis.

Kedua, berhentinya jantung dan pernapasan secara total, tak bisa lagi untuk aktif kembali secara medis. Dua kondisi ini dijadikan bahan pertimbangan keputusan Dewan pada sesi sidangnya yang ketiga.

Bentuk ketiga: Yaitu pemindahan dari janin. Mengambil manfaat dari janin ada tiga kondisi:
Pertama, janin yang keguguran seketika.
Kedua, janin yang keguguran karena faktor medis atau unsur tindak pidana.
Ketiga, hasil pembuahan yang tumbuh di luar rahim.

Ditinjau dari Sisi Hukum Syari’at:

Pertama, diperbolehkan memindahkan anggota tubuh seseorang ke tempat lain dari tubuhnya sendiri. Ini dengan mempertimbangkan kepastian bahwa manfaat yang diprediksi dari operasi ini lebih kuat dibanding kerugian yang mungkin muncul akibat operasi tersebut. Dan disyaratkan bahwa tindakan ini ditempuh dalam rangka untuk menggantikan anggota tubuh yang hilang, atau untuk mengembalikan bentuk aslinya maupun fungsinya yang lazim ada padanya. Ataupun untuk memperbaiki cacat, atau menghilangkan rupanya yang jelek, di mana hal-hal di atas mengganggu kondisi kejiwaan ataupun  kondisi tubuh itu sendiri.

Kedua, diperbolehkan memindahkan anggota tubuh seseorang kepada tubuh orang lain, apabila anggota tubuh itu terus memperbaharui dirinya secara otomatis. Ini seperti halnya darah dan kulit. Dalam hal ini harus diperhatikan persyaratan bahwa orang yang menderma (donor—blogger) adalah orang yang mempunyai kecakapan sempurna dalam perilakunya, dan telah terpenuhi berbagai syarat syar’i yang diperhitungkan.

Ketiga, diperbolehkan memanfaatkan bagian anggota tubuh yang telah diangkat dari tubuh ke tubuh yang lain, yang disebabkan adanya suatu penyakit. Ini seperti mengambil bola mata untuk seseorang, ketika bola matanya harus diangkat karena ada satu penyakit yang diidapnya.

Keempat, diharamkan melakukan transplantasi organ tubuh yang menjadi tumpuan kehidupan, seperti jantung, yang dipindahkan dari seorang yang hidup untuk orang lain.

Kelima, diharamkan melakukan transplantasi organ tubuh manusia yang masih hidup, yang bila organ ini hilang akan mematikan fungsi prinsipil dalam kehidupannya, meskipun selamatnya dasar kehidupan tidak tergantung pada organ ini. Ini seperti transplantasi kornea kedua matanya. Adapun bila transplantasi ini hanya mematikan satu bagian dari fungsi prinsipil tersebut, maka ini yang menjadi bahan pengkajian, seperti yang akan disebutkan dalam poin kedelapan.

Keenam, boleh melakukan transplantasi organ tubuh dari orang yang sudah meninggal untuk yang masih hidup, (meskipun) asal kehidupannya bergantung pada organ tersebut, atau selamatnya fungsi pokok darinya tergantung pada organ itu (yaitu ketika ia masih hidup).  Namun disyaratkan adanya izin dari si mayit atau ahli warisnya setelah ia meninggal. Atau bila si mayit tidak dikenal identitasnya, atau tidak mempunyai ahli waris, maka disyaratkan adanya persetujuan dari penguasa kaum muslimin.

Ketujuh, perlu diperhatikan bahwa adanya konsensus bolehnya melakukan transplantasi organ tubuh pada kondisi-kondisi yang telah dijelaskan di atas, dengan syarat bahwa hal itu tidak dilakukan dengan melalui adanya transaksi jual beli organ tersebut. Karena walau bagaimanapun, tidak diperbolehkan menjadikan anggota tubuh manusia sebagai komoditi jual beli.
Adapun seseorang yang mengeluarkan harta dalam rangka untuk memperoleh organ yang dibutuhkannya karena memang terpaksa, atau sebagai balas jasa dan penghargaan, maka hal ini menjadi ajang ijtihad dan pengkajian.

Kedelapan, semua kondisi dan bentuk transplantasi selain yang disebutkan di atas, yang memang masuk dalam objek inti permasalahan ini, maka itu menjadi ajang untuk dikaji. Hal tersebut harus dipresentasikan pada sesi mendatang untuk dikaji dan dibahas, dengan berpedoman pada data-data medis dan hukum syari’at.

Maraji’:
Fiqih Pengobatan Islami
dr.’Ali bin Sulaiman Ar-Rumaikhan
(Diambil dari Majalah Al-Buhuts Al-Fiqhiyyah Al-Mu’aashirah—tahun pertama edisi ketiga)

No comments:

Post a Comment