Sunday, November 21, 2010

Andai Engkau Tahu Siapa Aku Sebenarnya...

Betapa seringnya kita merasa bangga ketika melihat banyak orang yang membutuhkan kita. Saat kita menyaksikan orang-orang berkumpul di sekeliling kita, betapa bangganya jiwa ini. Padahal -kita sendiri menyadari bahwa- orang-orang itu sesungguhnya tidak mengetahui siapa dan bagaimana diri kita yang sesungguhnya. Dan -yang membuat segalanya semakin parah- kita pun selalu berusaha menampilkan berbagai bentuk dan rupa kepalsuan. Menampilkan kekhusyu`an padahal sesungguhnya tidak khusyu`. Berlagak seperti ahli dzikir, padahal hati selalu lalai mengingat Allah. Dan orang itu bukan siapa-siapa. Dialah kita.

Kaum shalih terdahulu yang hampir tidak bisa diragukan lagi keshalihannya seringkali mengungkapkan kekhawatirannya akan dirinya sendiri. Bila kita meluangkan waktu untuk membaca jejak-jejak keshalihan mereka, rasanya kita sulit untuk mengerti mengapa mereka masih saja sangat khawatir amal mereka tidak diterima oleh Allah. Mengapa mereka masih saja selalu berperilaku seolah-olah merekalah penghuni neraka. Jilatan dan kobaran api neraka seperti begitu dekat...

Padahal sesungguhnya bila kita mengerti, kita sama sekali tidak perlu heran. Itulah tanda utama keshalihan seorang hamba. Bila engkau merasa khawatir amalmu tidak diterima, maka bersyukurlah. Sebab terlalu banyak manusia yang memandang Allah sebagai Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, namun lupa bahwa Ia juga Maha Perkasa dan Mahadahsyat siksaan-Nya. Saat ia tenggelam dalam kemaksiatan dan kedurhakaan, ia membayangkan bahwa Allah itu Maha Pengampun, dan lupa bahwa Ia tidak menyukai bahkan akan menghukum para pendurhaka. Dan -lagi-lagi- orang itu bukan siapa-siapa. Dia adalah kita sendiri.

Sepanjang sejarah memang selalu begitu yang terjadi. Semakin shalih dan dekat seorang hamba dengan Allah, semakin takut dan khawatirlah ia bila cintanya ditolak oleh sang kekasih. Dan semakin durjana seorang makhluq, semakin optimislah ia bahwa kedurjanaannya itu pasti diampuni oleh Allah. Padahal ia tidak mengantongi secuil jaminan pun akan hal itu. Sangat jauh bebeda dengan sahabat-sahabat Nabi Shallallahu 'alayhi wasallam yang jelas-jelas telah 'mengantongi' jaminan masuk surga. Anda tentu tahu siapa itu Abu Bakar Ash-Shiddiq, 'Umar Al-Faruq, dan 'Utsman bin 'Affan. Mereka adalah beberapa sosok sahabat yang telah 'mengantongi' jaminan itu. Lalu bacalah perjalanan hidup mereka sesudah memperoleh jaminan surga itu. Tidak sekalipun mereka berleha-leha dalam beribadah. Jaminan itu justru membuat mereka semakin meluap-luap untuk berjumpa dengan Rabb mereka. Duhai, alangkah pandirnya kita.

Suatu ketika, Jubair ibn Nufair mendengarkan do'a yang diucapkan oleh sahabat yang mulia Abu Ad-Darda` radhiyallahu 'anhu di akhir shalatnya. Anda tahu do'a apa yang beliau panjatkan? A'uudzu billaahi minannifaaq (Aku berlindung kepada Allah dari sifat munafiq). Ya, seorang sahabat seperti Abu Ad-Darda` begitu takut terhadap kemunafikan. Itulah sebabnya -masih menurut Jubair ibn Nufair- beliau mangulang-ulangi do'a itu.

"Duhai tuan, ada apa antara Anda dengan kemunafikan?", tanya Jubair kepadanya.

"Sudahlah, engkau tidak usah mencampurinya. Demi Allah! Sesungguhnya seseorang itu dapat berubah-ubah dan berbolak-balik agamanya dalam satu jam, hingga agama itu tercabut darinya!" jawab Abu Ad-Darda`.

Demikianlah salah satu nilai penting yang diwariskan generasi salaf kepada kita. Kesadaran dan kepekaan terhadap diri sendiri. Jangan pernah menjadi 'ujub dan kagum pada diri sendiri. Intinya: tahu dirilah!
Seorang 'alim bernama Yusuf ibn Ahmad Asy-Syairazy mengisahkan tentang salah seorang gurunya yang dikenal dengan Abul Waqt. Sang guru ini dikenal sebagai salah satu ahli hadits yang telah melakukan pengembaraan panjang untuk menyelami hadits-hadits Nabi Shallallahu 'alayhi wasallam. Ia bahkan digelari sebagai ruhlah ad-dunya; sang pengembara dunia. Simaklah penuturan Yusuf Asy-Syairazy tentang gurunya yang satu ini:

"...Allah akhirnya menakdirkan aku bertemu dengan beliau di negeri yang bernama Kirman. Saat aku pertama berjumpa, kuucapkan salam kepadanya lalu aku menciumnya (kepala atau pundak-sebagai bentuk penghormatan kepada para 'ulama). Kemudian aku duduk bersimpuh di hadapan beliau. Tidak lama kemudian, beliau bertanya kepadaku: "Apa yang membuatmu datang ke negeri ini?". Aku menjawab: "Engkaulah yang menjadi maksudku. Tuanlah sandaranku setelah Alla Ta'ala, aku menulis hadits-hadits yang engkau riwayatkan dengan penaku, namun aku tetap berusaha menemui tuan dengan kedua kakiku agar aku bisa mendapatkan keberkahan nafas-nafas tuan dan mendapat sanad tuan yang lebih tinggi." Beliau kemudian berkata: "Semoga Allah memberikan taufiq dan keridhaan kepadaku dan kepadamu. Semoga Ia menjadikan segala upaya kita adalah karena-Nya. Semoga Ia menjadikan tujuan kita hanyalah pada-Nya. Duhai, seandainya saja engkau mengetahui aku dengan sebenar-benarnya, niscaya engkau tidak akan mau mengucapkan salam padaku. Niscaya engkau tidak akan sudi duduk di hadapanku...". Beliau kemudian menangis. Lama sekali. Hingga membuat semua yang hadir pun turut menangis. Lalu beliau melanjutkan ucapannya, "Ya Allah! Tutupilah aib-aib kami dengan perlindungan-Mu yang Mahaindah, dan jadikanlah apa yang ada di bawah perlindungan-Mu itu sesuatu yang Engkau ridhai untuk kami...."

Itulah yang dikatakan oleh sang 'alim pengembara dunia itu. Lalu apakah gerangan yang patut kita ucapkan dengan segala kelalaian kita? Katakanlah kepada siapapun yang mencoba mengagumi dan memuji kita: "Saudaraku, andai engkau tahu siapa aku sebenarnya...". Lalu tangisilah diri sendiri.

Diambil dari buku Cinta yang Membius
Oleh Al-Ustadz Abul Miqdad Al-Madany

No comments:

Post a Comment